Dari Benci dan Alergi Jadi Tresno Setengah Mati

Sekolah Pasar, saat dengar kata itu jujur bertanya-tanya dan banyak komentar bermunculan di benak saya. Apa si Sekolah Pasar itu? Kok ada pasar di sekolah? Untuk apa juga pasar di sekolah? Siapa juga yang mau sekolah di pasar? Kan pasar tempat berdagang? Yang lebih ngilu kata-kata pasar rakyat yang membuka kembali memori masa kecil saya ?

Pertama kali dengar tentang Sekolah Pasar dari dosen saya Bapak Awan Santosa, S.E, M.Sc, beliau adalah salah satu dari pendiri gerakan Sekolah Pasar dan saat ini menjadi direktur Sekolah Pasar dan saat pertama di perkenalkan oleh beliau tentang Sekolah Pasar langsung saja saya menjatuhkan vonis bahwa Sekolah Pasar bukan dunia saya. Alasan kenapa saya berpikiran seperti itu, ini kembali ke masa kecil saya lebih tepatnya masa sebelum saya akhirnya memutuskan diri untuk mengikuti agenda Sekolah Pasar.

Sebagai seorang anak yang lahir dari keluarga biasa-biasa saja, dari keluarga buruh kebun kelapa sawit tentu pasar rakyat adalah hiburan bulanan bagi saya. Setiap tanggal gajian pasti ritual ke pasar rakyat menjadi pilihan hiburan terbaik bagi kedua orang tua saya dan mau tidak mau saya turut serta dalam ritual tersebut.

Sejak umur 7 tahun kala itu masih SD. Orang tua bukan kebetulan bekerja di sebuah perkebunan kelapa sawit di daerah Tanah Bumbu Kalimantan Selatan, kesibukan orang tua yang jam kerjanya dari jam 6 sudah harus apel pagi dan jam 3 sore baru terlihat di rumah di sambung lagi dengan pekerjaan sampingan mereka. Ibu saya waktu itu bekerja sampingan petugas kebersihan kantor dan perumahan manajerial dari jam 5 sore dan tidak pernah tau jam berapa beliau pulang yang pasti sampai jam 10 malam saat saya masih bermain kartu gambaran dengan kakak saya Ibu saya belum juga di rumah. Begitu juga dengan Bapak saya, jam 6 sore sudah harus berganti propesi dari pemanen kelapa sawit menjadi waker semacam penjaga keamanan alat berat milik perusahaan dan selalu pulang saat saya dan kakak saya berangkat sekolah menggunakan truk yang di modif menjadi bus sekolah, saat bapak saya turun dari truk itu kami berdua menaikinya untuk pergi ke sekolah.

Lingkungan tempat tinggal di perusahaan saat itu benar-benar mengkerdilkan mental saya, karena hanya keluarga saya yang menjadi buruh kasar. Keluarga buruh yang lain bertempat tinggal di afdeling perkebunan bukan perumahan manajerial seperti keluarga saya. Teman-teman sebaya waktu itu adalah anak atasan dan majikan Ibu dan Bapak saya, cerita yang selalu keluar dari mulut mereka selalu tentang liburan, jalan-jalan, mainan baru dan playstation. Sedangkan saya? Ya hanya menjadi pendengar yang baik dan lebih sering menjadi bahan ejekan saat saya bercerita tentang liburan saya sebulan sekali ke pasar rakyat. Dan dari situ munculah kebencian yang kemudian menjadikan saya sangat alergi dengan pasar rakyat.

Keadaan seperti ini berlangsung selama 5 tahun sebelum akhirnya pindah ke Kalimantan Tengah. Tapi saya menyadari bahwa sejak dalam kandungan pasar rakyat menjadi menu wajib santapan bulanan. Dari pasar lama pinggir sungai di Kecamatan Sungai Danau Kabupaten Tanah Bumbu Kalimantan Selatan, Pasar rakyat Kabupaten Sukamara Kalimantan Tengah, Pasar rakyat di Pangkalanbun Kalimantan Tengah, dan akhirnya sampai berdomisili di Kecamatan Kintap, Tanah Laut, Kalimantan Selatan dan lagi harus mengikuti ritual bulanan keluarga “Pasar rakyat” di pasar Bauntung Kintap.

Perasaan alergi kepada pasar rakyat mulai memuncak sejak SMP, waktu itu awal-awal bisa mengendarai sepeda motor. Niat hati bisa mengendarai sepeda motor untuk jalan-jalan, bermain ya untuk sedikit menghibur diri dari hiruk pikuk debu batu bara dan asap pabrik kelapa sawit yang sungguh menyiksa. Tapi keinginan itu terkubur dalam-dalam hingga tak terlihat. Kalau dulu ritual ke pasar rakyat satu bulan sekali, sejak saya bisa mengendarai sepeda motor berubah menjadi dua hari se minggu. Dan sungguh ini menyiksa. Sangat menyiksa.

Jika kita bertanya kepada orang-orang yang seperti saya dalam hal ini alergi dengan pasar rakyat. Sudah pasti alasan yang di keluarkan akan sama ya beda-beda tipis, pasar rakyat itu : kotor, bau, bising, ribut, sesak, panas dan sudah pasti tidak aman. Jika saya pribadi pasar rakyat itu sungguh menyiksa. Pertama saya adalah orang yang di lahirkaan di bulan April tahun 1992 dan kata kakek saya dengan ilmu primbonnya saya akan tumbuh menjadi seseorang yang pemalu, tidak nyaman di tempat umum, tidak suka menunggu, dan mudah bosan. Dan semua itu benar adanya. Dan inilah yang menjadikan saya alergi dengan pasar rakyat, sebenarnya bukan hanya pasar rakyat tempat-tempat umum seperti kantor perusahaan, kantor kelurahan, kecamatan, kecuali masjid.

Ritual ke pasar rakyat baru berakhir setelah saya kuliah, ya setelah pindah ke Jogja. Tapi sebelum itu adalah saat-saat pasar rakyat dalam puncak kebencian saya. Waktu SMA lebih tepatnya 2 hari bahkan kadang 4 hari dalam 1 minggu harus menemani Ibu saya ke pasar rakyat. Karena saat itu Ibu saya berdagang di perumahan perusahaan, beliau bekerja sebagai penjaga kantin. Setiap ke pasar rakyat saya tidak seperti waktu SMP dulu hanya sekedar menunggu. Kali ini benar-benar masuk kedalam, membawa barang belanjaan membuntuti di belakang Ibu saya, menjadi bahan obrolan antara Ibu saya dan pedagang langganannya, keluar masuk blog ikan.

Dan yang lebih menyebalkan, Ibu saya adalah orang yang sedikit pelupa, sering kali sudah sampai rumah ternyata barang yang di beli ada yang tertinggal atau lupa belum terbeli dan terpaksa harus kembali lagi. Mungkin yang saya gambarkan disini terasa biasa-biasa saja tapi kalau kita berada dalam situasi saat itu, benar-benar sepuluh kali lebih dari yang saya ceritakan pilunya.

Dan sekarang, berlahan tapi pasti rasa alergi dan benci saya mulai terhapus sedikit demi sedikit. Tidak lain dengan mengenal gerakan mengajar 13 juta pedagang pasar “Sekolah Pasar”. Banyak diskusi yang memunculkan pengetahuan baru bagi saya tentang sebenarnya pasar rakyat. Bahwa pasar rakyat itu siapa. Walau saya akui awal saya bergabung dengan Sekolah Pasar perasaan ragu saya, rasa takut dan alergi saya serta kebencian saya terhadap pasar rakyat masih menguasai saya. Itu salah satu yang menyebabkan saya menghilang beberapa bulan dari Sekolah Pasar di luar kesibukan saya dengan gerakan saya di Mahasiswa Peduli Masyarakat Desa (Mapemda) dan gerakan mengajar di Taman Baca Mapemda.

Dan akhirnya saya menguatkan diri untuk kembali mengikuti agenda Sekolah Pasar walau dalam hal ini hanya agenda ruang di sekretariat Sekolah Pasar di kantor Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM. Untuk terjun ke pasar sampai saat saya menulis cerita ini dapat di hitung jari satu telapak tangan keterlibatan saya turun ke pasar. Apalagi untuk ke klinik pasar yang harus langsung benar-benar bersinggungan dengan para pedagang di dalam pasar satu kalipun belum pernah ikut. Semoga ke depannya saya bisa mengendalikan ketakutan dan sifat bawaan lahir saya.

Saat ini, kalau ada yang bertanya kepada saya tentang pasar rakyat jujur dengan tanpa paksaan dan keraguan saya sangat mencintai pasar rakyat. Pasar rakyat bukan hanya menjadi wadah pertemuan pedagang dan pembeli dari berbagai golongan tapi juga bentuk persatuan, wadah silaturrahmi. Rata-rata antara penjual dan pembeli akan terikat dalam sebuah hubungan saling mengenal dan ini tidak terjadi di pasar modern. Satu lagi pasar rakyat adalah bentuk kemandirian bangsa dan bentuk perlawanan akan terus berkembangnya ritail-ritail modern. Sebuah fakta bahwa rakyat masih mampu berdikari adalah pedagang pasar rakyat yang terus berjuang di tengah himpitan pertumbuhan ritail modern.

Dan Sekolah Pasar adalah jalan keluar perlawanan pasar rakyat terhadap cengkraman pasar modern. Gerakan mengajar 13 juta pedagang pasar rakyat “Sekolah Pasar” adalah wujud sadar bagi orang yang mengaku terdidik, karena tugas orang terdidik salah satunya adalah mendidik. Serta menjalankan amanah pendiri bangsa dalam pasal 31 dan 33 UUD 19945. Bersama Sekolah Pasar, mari mengajar dan mencintai Sekolah Pasar. Tidak ada kata lain selain bahwa saya harus jujur “witing tresno jalaran soko kulino” tresno pasar rakyat setengah mati, itu aku yang sekarang. Terima kasih.

Ariyanto.
Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Mercu Buana Yogyakarta dan Relawan Sekolah Pasar Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM

Sumber: Sekolah Pasar, 2013.

Share this post

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on pinterest
Share on whatsapp
Share on telegram